Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam
Di jalan, di sebuah gang kecil, sehelai
kertas berwarna putih mangkak tertiup angin. Ia terbang merendah. Lalu seolah
memilki sepasang sayap untuk hinggap, selembar kertas itu menukik lantas mendarat
di bawah kaki saya.
“Kau boleh saja
memutuskan tidak menikah sampai akhir hanyat. Itu bukanlah ide buruk. Segala
kekacauan di muka bumi ini memang terjadi karena perkara sepele. Salah-salah mengingat
batas teritorial kita misalnya. Atau, jika kau ingin alasan yang lebih sepele—kalau
kau cukup bernyali—datang dan pergi ke Istana Negara tepat di hari Senin. Lalu
panjat tiang bendera yang ada di sana dan membaliknya dengan warna bendera
Polandia. Mereka mungkin akan menghargai usahamu sebagai orang gila dan sebagai
gantinya kau akan dipukuli hingga hampir mati. Dan saat itulah kau akan paham
apa yang sedang kita bicarakan.
"Orang-orang yang
memukulimu, lahir dari keluarga harmonis, tidak harmonis, dan agak harmonis
untuk ukuranmu. Akan tetapi mereka tidak paham apa yang sedang mereka lakukan
sampai-sampai setiap pagi membuatnya bangun tidur lantas mengenakan seragam
yang menuntutnya terlihat macho, yang menurutmu justru terlihat sangat konyol.
"Dalam pernikahan, kau
tahu, sebaiknya membelenggu. Aktivitas buang-buang waktu dengan satu kata yang
terlampau mengerikan buat diucapkan. Yakni: komitmen. Mungkin itu alasan utama
ketakutanmu menghadapi pernikahan.
"Kau harus memiliki
usaha yang cukup keras untuk mengingat kata itu, ketika kau, misalnya, ingin pergi
memancing di hari libur. Berkumpul dan bersantai dengan teman-temanmu atau saat-saat kau sedang
ingin sendiri. Tidak ingin diganggu. Tapi apa tanggapamu tentang kebiasaan
buruk? Pasanganmu mungkin bisa menerima semua keburukanmu. Akan tetapi bagaimana sepuluh
atau duapuluh tahun ke depan?
"Saat kalian memiliki anak-anak, setelah mereka
terverivikasi sebagai anggota keluarga, anak-anak memiliki pikirannya sendiri
dan kau tak boleh mengujinya dengan berharap kasih sayang yang sama telah kau
berikan padanya sejak masih bayi.
"Mereka mungkin akan
memunggungimu saat kau sedang bicara, atau saat kau sedang menghadapi hari
buruk mereka justru mengunyah permen karet. Lupakan tentang gelembung.
"Ketakutanmu nomor dua,
biar kutebak: kau belum punya target, seorang yang mana bisa kau percaya
sebagai ibu dari anak-anakmu yang nakal, yang kelak jika ditanya apa
cita-citamu, Nak, mereka akan menjawab menjadi seorang tentara, atau polisi. Tidak pernah
mereka ingin menjadi sepertimu. Menjadi seorang Ayah.
"Setelah pelajaran
cinta-cinta palsu, yang kau pelajari dari pasangan-pasangan terdahulumu, kau
mugkin ingin sekali berteiak di telinga mereka. Mengatakan, “Yeah, akhirnya kau
buka juga topengmu!” Tapi itu tak pernah
kau katakan. Kau sudah berhenti mengomentari hal-hal bodoh seperti itu. Biarlah
mereka melakukan apa yang mereka mau.
"Orang-orang yang merasa hidupnya lebih beruntung darimu, biasanya mereka akan mendekatimu, menepuk pundakmu sekali sambil berkata enteng, “Sabar.” Seolah-olah satu kata itu bisa mengatasi seluruh masalah yang ada di muka bumi ini dengan sekali tepuk. Seolah-olah perasaan sakit hati karena patah hati, bisa diselesaikan
dengan satu kata kunci itu.
"Sekarang alasan ketigamu,
mungkin karena kau—“
Kertas itu robek.
Kalimat itu terpenggal begitu saja.
Seseorang mungkin telah
merobeknya. Seseorang, yang sebelum saya, mungkin juga telah membaca pesan itu, dan merobeknya begitu dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dia merobek kertas
itu menjadi beberapa bagian. Lalu kertas itu terbang. Lalu bagian kecil itu mendarat ke bawah
kaki saya. Lantas saya membacanya, lantas saya melakukan apa yang dilakukan lelaki sebelum saya lakukan pada kertas itu. Yaitu: merobeknya.
Tapi kali ini saya merobeknya menjadi berkeping-keping, supaya kertas sialan itu tidak berkeliaran
mencari korban lagi.
Saya memang, beginilah.
Setiap kali menyerahkan diri keluar rumah selalu merasa dihantui perasaan
terancam. Saya takut orang-orang melukai saya dengan pandangan pertama mata
mereka. Dengan sehelai kertas.
Setelah berhasil
merobek kertas sialan itu, saya meremas-remasnya hingga membentuk sebuah bola
kecil di tangan saya. Lalu melemparnya ke arah barat. Saya tidak tahu kenapa harus
ke arah barat. Tidak ke arah selatan atau utara atau semacamnya. Tapi saya percaya di sanalah arah matahari tenggelam.
Aw | 31 Mei 2017 | Ilustrasi
Komentar
Posting Komentar