Sajak Paling Kami

Dia bilang dia akan mati dan dia tertawa. Saya tak ingin tahu dia tertawa untuk apa. Tapi saya suka caranya tertawa. Mengingatkan saya tentang film bisu atau adegan komedi romantis yang diisi oleh penggalan suara-suara orang yang sudah mati.

Dia punya segala sesuatu setelah semua sejauh ini dia lakukan tak pernah cukup. Sehari sebelum kami bertemu, dia bicara tentang kesehatannya yang buruk, dan kepala yang sibuk seperti meja panyair di malam sunyi. Mungkin, dia ingin seorang datang dan membawakan secangkir kopi. Tapi seorang itu tak pernah datang. Dia mungkin juga ingin bercakap-cakap bagai dua orang pasien yang sama-sama membenci obat dan resep. Tapi hari ini dia bilang dia akan mati.

"Manusia hidup dan kalau mereka mau mereka bisa menyerah sekarang juga," katanya.

Ada beberapa orang yang tak tahu kapan waktunya berhenti tapi dia bukan salah satu dari mereka. Sebab dia tertawa terus.

Dia melanjutkan, "Aku harus."

Saya tak mengatakan apa-apa. Sebab saya ini cuma kekasihnya yang brengsek. Tokoh jahat dalam novel Takashi Matsuoka, lubang kecil kaleng arisan yang tak pernah memuntahkan nama ibumu, aktris yang mengembik seperti kambing membujuk generasi muda anti-narkoba, padahal ia suka makan rumput dan ganja. Atau apa saja yang membuatmu sanggup menggambarkan sifat-sifat buruk: sialan, jaddah, dasar binatang, jalang, atau ungkapan yang menurutmu tepat untuk mendiskripsikan tendangan Lewandowski yang digagalkan anak gawang.

Saya memang tak mengatakan apa-apa. Saya takut saya berkata yang justru membuatnya semakin kecewa. Segera setelah dia berhenti tertawa saya membantunya menangis. Lalu dia bilang, kita tak berbakat menangis.

Lantas bersama-sama kami menulis: Resep Abadi. Yang kelak kau namai sajak yang paling kami.

[AW]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suaramu

Jatuh Cinta

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam