Batas Pagi


Hari apa sekarang, Lis? Berhari-hari aku mengingatmu tak satu pun aku ingat apa salahku, atau salahmu seandainya kita tidak bertemu. Perasaan wajar begini siapa sangka justru membikin kita berpisah.

Dari balik kepalaku, belakang pundakku, hari-hari berlalu menambahkan cahaya lalu kenyataan bagai sejarah yang dipimpin Josef Stalin mematikan orang-orang yang tak disukainya. Sakit yang tak pernah bisa sekedar ditanggung atau ditampung secangkir kopi.

Lis,

Adakah kita perlu beranjak? Memakai mantel bulu lama kita, yang setengah abad tergantung di belakang pintu kamar untuk pergi ke taman, rumah binatu yang tak pernah bisa benar-benar membersihkan pikiran-pikiran kita?

Dari jarak seratus meter, tak pernah cukup dekat. Tidak juga jauh orang-orang memerhatikan kita. Dengan satu pertanyaan lelah dan ragu yang diajukannya, "Ya. Mengapa kita di sini?" "Apa Anda sendirian saja? Seharusnya Anda tidak sendirian saja keliaran di taman ini!" "Bisakah Anda kasih tahu saya, sedikit saja, pengaruh mengapa kita suka sekali yang sejuk-sejuk tapi diwaktu yang sama pula benci setengah mati, pagi hari, dengan menolaknya menggunakan mantel bulu?"

Aku ingin merasakan sumber dari segala sumber hidup ini.

Tapi, Lis,

Jika nanti aku tak pernah berhasil dengan diriku sendiri yang kerasukan makanan-makanan beku, berita politik, dan tak terbiasa akan kabarmu, maka tolong biarkan aku tetap mengenakan mantel buluku. Merindukan maju mundurnya waktu dan terhibur hal-hal kecil, tentang suara klakson, sisa makanan, daging yang menyulitkan untuk dicukil hingga menyebabkan aku mengeces, atau hal remeh-temeh yang mungkin tak pernah bisa menandingimu. Karena kamu tak pernah tertanding, karena kita mungkin tak pernah bertanding untuk sesuatu yang ingin kita kalahkan!

Lis,

Selamat pagi. Aku mencintaimu melampaui segala hal yang tak pernah bisa aku lampaui sebagai batas.

[AW] Ilustrasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suaramu

Jatuh Cinta

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam