Teman Dunia Maya

[Cerpen]
Teman Dunia Maya

Jendela terdengar membuka menutup. Sontak aku terbangun dari mimpi buruk, sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin bermanik-manik. Dengan malas aku bangkit dari ranjang, memberanikan diri menatap keluar. Langit terlihat menyeramkan, perpaduan dari gumpalan awan pekat hamil tua bercampur warna merah saga. Angin menyiksa pasir dan dedaunan, ombak bergulung dasyat menyisakan buih lebih luas dari biasanya.

Sulit memejamkan mata. Yang kulakukan cuma menatap lukisan gadis indo di dinding kamarku dengan ngeri. Aku tak mau lagi melukis wanita secantik Luvina Flower Jasmine Desmond. Dengan mata biru, kulit pucat dan bibir semerah darah dia nampak menyeramkan. Oh, Tuhan, sudah beruntung pada hari Kamis malam, Flow tidak keluar dari sana untuk mencekikku.

Baiklah. Hal kedua yang kulakukan begitu terjaga adalah bertanya. Kenapa Lintang menghilang? Seribu kali aku bertanya demikian.

Rasanya belum pantas bercerita kalau aku sangat akrab dengan Lintang. Kami bertemu di komunitas menulis milik seorang penulis terkenal di sosial media. Kebetulan selain seniman, ternyata kami sama-sama suka menulis. Dalam sebuah kesempatan, saat aku pameran bersama sahabatku di Bentara Budaya Yogyakarta, dia hadir. Saat itulah dia berkata akan pergi. Kementrian tempatnya bernaung memberi beasiswa S2 seni di Oxford. Kupikir hal tersebut akan menjauhkan kami. Ternyata tidak. Begitu Lintang kembali, dia mengajakku bertemu di salah satu museum seni di Jakarta.

"Kinan! Mau kopi?" tanya Mas Panji, sambil melongok di balik daun pintu.

Aku mengikuti Mas Panji, kami lantas duduk di beranda Cottage sambil menatap laut selatan terbentang luas di seberang sana.

"Apa yang terjadi? Kukira kepulanganmu kali ini bukan hanya karena merindukan birunya langit dan laut, Pacitan."

"Apa Kinanti, tak boleh merindukan Mas Panji?" tanyaku.

"Boleh, sebanyak yang Kinanti inginkan," jawabnya sambil tersenyum.

"Mas, ngomong-ngomong apakah saat seperti ini orang berani pergi surfing?" tanyaku.

Sulit mengatakan pada Mas Panji kalau aku sedang mencari seseorang. Lintang sudah satu bulan ditugaskan di sini, dan sejak seminggu yang lalu dia menghilang. Aku kawatir dia pergi surfing atau semacamnya kemudian hal buruk terjadi. Mengingat, dia sangat menyukai petualangan.

"Entah, tak banyak di Watu Karung, kecuali surfer profesional pemburu spot terbaik kelas dunia. Para pemula lebih sering di pantai Teleng Ria," jelas Mas Panji.

Belum sampai membuka mulut, ada dua pemuda dengan ekspresi panik memanggil-manggil Mas Panji dari balik pagar. Kakakku menghampiri mereka dengan langkah tergopoh-gopoh. Samar-samar kudengar Mas Panji berkata, biar adikku saja yang nyetir.

"Aku? Aku hanya punya SIM C."
.
***
Cuaca sangat tak bersahabat. Hujan, angin, petir memporak-porandakan malam. Jarak pandang tak begitu jauh, medan juga sangat sulit. Kurasa ini lebih dari sekedar ujian mendapat SIM.

"Kenapa tatapan pria ini membuatku ... ," guman salah satu pemuda.

"Abaikan Dan, jangan membuatku merinding. Dok, Biasanya ubur-ubur naik di bulan Juni hingga Agustus kan, ini kok?" potong temannya.

"Aku juga tak mengerti. Kalian membawa seember air laut yang kuminta?" tanya Mas Panji tegang.

"Iya, Dok. Buat apa?"

"Kita lakukan pertolongan tahap pertama. Jika dibasuh air tawar kita akan mengaktifkan sengatannya, mari kita bersihkan tentakel ubur-uburnya."

"Ini kainnya, Dok,"

"Jangan pakai kain, Kinan kamu punya credit card? Aku lupa bawa dompet."

"Ada di tas, ATM dan semuanya. Jangan bilang membersihkannya memakai ATMku? Ah sudahlah."

Pandanganku melayang ke depan. Sekitar seratus meter ada pohon super besar rapuh, miring dan nyaris ambruk.

"Kita akan terjebak sebelum sampai Puskesmas atau Rumah Sakit. Pohon di depan nyaris ambruk!" teriakku panik.

"Nyaris kan? Injak saja pedal gasnya!" bentak Mas Panji tak kalah panik.

"Mobil kita bukan sport, Mas. Tidak bisa, waktunya tidak cukup."

"Kinan, injak gasnya, cepat! Pasien mengalami ruam-ruam kemerahan. Harusnya kamu tahu, tidak ada seseorang yang pergi sebelum waktunya. Percayalah."

Ucapan Mas Panji membuatku tersentak. Tanpa sadar mobil tua ini meraung, meluncur dengan kecepatan tinggi. Hingga tak selang sepersekian detik, bagian belakangnya menyenggol, menghantam atau entah dihantam sesuatu, brakkk! Kupikir kayunya memang ambruk tepat di belakang.

"Kayunya ambruk?" tanyaku.

"Masih berdiri. Lalu kita dihantam apa?" tanya Kakakku.

"Dokter, kita dalam masalah besar."

"Kita dalam masalah lebih besar lagi. Kita kehilangan detak jantungnya," tambah, Kakakku.

***

"Mbak Kinanti Soediro, memiliki STNK motor, tidak punya SIM C, mengemudi mobil tanpa STNK mobil bahkan SIM. Kebut-kebutan lalu menyenggol mobil polisi yang sedang bertugas."

"Saya punya SIM C, meski itu tidak membantu. Orang mengemudi tidak dengan itu," jawabku pasrah.

"Saya tidak menemukannya."

"Maybe, saya buat membersihkan tentakel ubur-ubur. Berarti ada di mobil, saya akan ambil tapi tolong jangan bentak adik saya, Pak," bela Mas Panji.

"Dokter Panji, kenapa pasiennya menghilang?" adu teman kami kebingungan. Begitu dia bergabung bersama kami, di ruangan kantor polisi sebagai pesakitan.

"Tidak mungkin, dia kan sudah ... sudah meninggal?" guman Mas Panji.

Aku dan Mas Panji saling pandang. Kemudian beralih menatap polisi yang habis-habisan memojokkanku. Kini alasan apa yang harus kukatakan jika pasiennya hilang? Pasti kami dikira cuma akting.

"Hilang? Atau memang tak ada. Kalian berhalusinasi. Saya akan tes urine kalian berempat!"

"Hoh. Silakan, Pak. Saya juga akan hadir dalam sidang pelanggaran lalu lintas, mengganti biaya kerusakan mobil anda dan Kakak saya, mencari orang absurd yang disengat ubur-ubur di pantai, menemukan teman saya yang hilang di kota ini. Sungguh ini sangat buruk. Saya rasa, saya adalah orang yang tidak layak bahagia hari ini," ucapku emosi, air mataku mengalir deras.

"Temanmu hilang? Kenapa tidak bilang?" tanya Mas Panji sambil menepuk pundakku lembut tanda simpati.

"Aku bingung, takut dan kalut," ucapku sambil terisak.

"Tunggu sebentar. Seminggu yang lalu ada orang tewas disengat ubur-ubur. Dia tinggi, kulit kuning, terakhir mengenakan kemeja hijau muda. Tidak membawa identitas apapun, kecuali beberapa buku dalam tasnya, dengan nama pengarang sama. Karena belum ada yang mengenalinya, akhirnya kami memakamkannya di sini," sela Pak Polisi.

Mas Panji mengecek foto korban yang diserahkan oleh Pak Polisi. Menatapnya sambil mengernyitkan kening. Terlampau serius bahkan bisa dibilang lama.

"Tidak mungkin, tidak! Dia tadi masih hidup, meski kemudian pergi," ucap mas Panji agak histeris. Wajahnya ketakutan dan pucat pasi. Dia menatap kedua tangannya yang gemetar.

***

Aku mengajakmu bertemu kedua kalinya di tempat masa lalu di abadikan. Hari itu, aku berharap menyatukan cinta kita. Entahlah, mungkin aku laki-laki sinting pertama, yang berharap cintanya kepada seorang wanita terlukis dalam sejarah.

Tapi aku mendadak urung melamarmu, perasaanku berkata, kita akan dipisahkan oleh jarak yang begitu jauh. Lebih jauh dari benua yang pernah memisahkan kita. Menyadari kemungkinan itu, hatiku mendadak berduka, sama sedihnya seperti menghadapi kematian.

Arasy Lintang Samudra untuk Kinanti Soediro.


Aku membaca baris kalimat di halaman terakhir bukunya itu, bukan hanya bersama hatiku yang patah, tapi hancur berkeping-keping. Kemudian aku memungutinya satu-satu, merekatkannya bersama ucapan Kakakku, bahwa tidak ada yang pergi sebelum waktunya.

Trenggalek, 15 Mei 2016

By: [RD]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suaramu

Jatuh Cinta

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam