Menjadi Langit

Aku tidak mengerti. 

Sekarang pukul dua puluh tiga lewat lima. Tak ada waktu yang benar-benar tepat. Kini, bisa kau bayangkan, aku sedang duduk dan memikirkanmu. Satu jam lalu, aku berpikir, kau duduk dan menunduk membaca pikiranmu sendiri. Seorang ibu mungkin saja kesal ketika anak balitanya suka menghibur diri dengan cara menguyah handpone miliknya. Aku sedang menghibur diriku sendiri untuk mengembalikkan kepercayaanku. Asal tuhan mau menjamin –keselamatan orang-orang yang kesepian— aku pun mau sekedar mengunyah sebatang handpone. Tapi kupikir tindakan itu terdengar seperti kambing kelaparan dan putus asa yang tak menemukan rumput. 

Orang-orang menghabiskan besar waktunya hanya untuk mendapati diri mereka berada di toilet, lampu merah, atau sekedar mengetik pesan yang tak pernah berani mereka kirim. 

Aku bisa saja orang yang paling kau benci. Tapi kau tak pernah mengatakannya. Kau adalah orang yang paling kucintai, tapi aku tak pernah sanggup mengatakannya lagi. 

Aku mulai membayangkan, pesan-pesanku terkirim dan ya, betapa berat menjadi dirimu. Kau harus membaca dan menebak-nebak sambil lalu mengisi tempat sampah kecil kamarmu seperti saat kau sedang melempar tisu kerena menikmati sebuah aksi heroik seorang pria dalam film Korea favorit kesukaanmu. Atau paling tidak, kau harus mengatasi pesan-pesan itu dengan cara yang tak pernah sanggup kubayangkan: menguyah handponemu sendiri. 

Sudah kuputuskan bahwa malam ini aku akan menyusup ke dalam mimpimu. Pertama kali yang ingin kulakukan, adalah aku akan menjelma jam dinding kamarmu, yang kerap kali kau amati tapi kau tak pernah cukup memilki tenaga untuk sekedar menyapanya karena harimu sangat melelahkan dan aku bisa saja menjadi orang paling membosankan karena berputar mengulang sesuatu tak pernah berkesudahan, mestinya kita berjalan melingkar mengilingi sesuatu dan ketika tiba pada suatu titik kita bertemu aku ingin kau mengingatku sebagai orang yang paling kaucintai. 

Aku sedang menyamar. Di dunia nyata, kau memang dapat mengenaliku sebagai orang yang paling kau benci. Tapi kali ini, kau tak akan pernah memiliki cukup alasan untuk membeci sebuah benda mati. Aku pun memikirkannya: menjadi langit. Wah, kau sedang jalan-jalan rupanya. Sendirian saja? Apa kau hendak menemui seseorang di suatu tempat? Kekasihmu? Tak apa! Kota ini memang membutuhkan orang seperti yang seperti dirimu, sebagai ahli waris, dan untuk itu kau harus menemui seseorang dan membicarakan perihal masa depan bersamanya hingga akhirnya kedua belah pihak mendapatkan pewaris baru. 

Kau mungkin akan mewarisi segala hal yang ada di dunia ini, dan mendapatkan bagian yang semestinya kau dapatkan, tapi aku ingin bersumpah bahwa aku tak akan mendapatkan apa-apa. Karena aku adalah langit yang sejak mula diciptakan untuk menatap burung-burung, gunung-gunung, menatap punggung kekasihmu dari arah selatan, menatapmu melamun yang sedari tadi kupikirkan seperti menduga-duga apakah sore ini akan turun hujan? 

Kalian masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Bersamanya, aku tahu kau akan baik-baik saja. Jadi kuputuskan menunggumu di luar, di pelataran tempat semestinya aku berada. Aku akan menikmati pemandangan ini. Lihatlah, semuanya berjalan dengan baik dan normal karena itu adalah satu-satunya lelucon yang dapat kuusahakan. 

Ketika kalian masuk ke dalam sebuah restoran itu, seorang anak kecil dan seorang wanita yang kuduga adalah ibunya, yang juga kuduga kedua orang itu adalah kau dan anakmu terlihat berjalan keluar dengan pikiran masing-masing. Tunggu sebentar, aku berpikir demikian, karena kau tentu tahu, tak ada yang dapat menyangkal bahwa waktu bisa berjalan begitu cepat dan mengejutkan. 

Kau menggandeng putramu itu. Ia menoleh, “Mengapa buru-buru, Ibu?” tanya putramu. 

Kau jawab dengan menggelengkan kepala. Aku ingin menjelaskan padanya untukmu tapi kupikir ia hanya akan memahami bahasa ibunya. “Kita harus sampai rumah sebelum langit menurunkan hujan.” 

Ia melepaskan gengganmu. “Mangapa langit suka sekali menurunkan hujan, Ibu?” 

“Karena itu pekerjaannya.” 

Kalian berjalan menyusuri trotoar, papan iklan dan pinggiran taman. Putramu berjalan lima langkah di belakangmu. Lalu ia mengatakan, “Aku tak suka hujan!” katanya sambil menendang-nendang kaleng bekas dengan sepatu ketsnya, namun ia masih sangat kecil supaya dapat mengukur detail gerak tubuhnya sendiri untuk tidak membuat kesalahan sehingga sepatunya penuh dengan lumpur. 

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” 

Putramu berhenti, menatap sepatu putihnya. Kemudian memperbaiki kalimatnya. “Saat hujan turun, diam-diam aku mengamati Ibu. Aku tak pernah tahu dimana Ayah berada. Tapi kurasa, Ibu tahu. Setiap hari aku belajar dengan tekun, mestinya aku tidak melakukan itu karena Ibu tak pernah sekali pun menepati janji bahwa kalau aku juara kelas kita akan mengunjungi Ayah. Tapi aku menerima keputusan Ibu, walaupun pada akhirnya aku tahu Ibu tak ingin mengecewakanku sebagai putramu.”

Kau diam saja ketika mengamati putramu yang berusia delapan tahun, yang seharusnya ia tidak mengucapkan seperti yang ingin kau dengar sekarang. Jarak antara kau dan putramu lima detak jantung ukuran normal. Kau mendekatinya dengan memangkas detak jatungmu sendiri. Kau berjongkok dan menangis dipelukan dada putramu. 

Mula-mula detak jantung kalian saling mendahului satu sama lain, lalu saling buru-buru, lalu saling tidak memburu, lalu saling menunggu. 

Kini jarak antara kalian hanya satu detak jantung yang kembali seirama. Kau ingin sekali berkata bahwa, “Ayahmu akan kembali jika kita tidak berharap kita merindukannya.” 

Dan itulah yang akhirnya putramu dengar. 

Aku bisa saja orang yang paling kau benci, tapi kau tak pernah sanggup mengatakannya dengan kata-kata paling pahit sekali pun. 

[23 Nov 2016]

[Aw]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suaramu

Jatuh Cinta

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam