Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Bayangan Kematian

: Gao Xingjian Kau tak lagi hidup dalam bayang-bayang orang lain dan tak lagi menganggapnya sebagai musuh khayalan. Kau meninggalkan bayangan itu, berhenti berkhayal dan melamunkan hal-hal aneh, dan kini terpuruk dalam kehampaan yang damai. Kau datang ke dunia dengan telanjang, tiada yang membutuhkanmu dan andaikan kau menginginkan sesuatu, kau tak akan mampu melakukannya. Satu-satunya rasa takutmu hanyalah pada maut yang datang tiba-tiba. Kau ingat rasa takutmu pada maut berawal di masa kecil. Saat itu rasa takut itu lebih besar dari kini. Kesedihan sepele membuatmu begitu cemas, seolah-olah itu adalah penyakit tak terobati dan saat kau jatuh sakit kau akan mengigau ketakutan. Kau telah bertahan melalui berbagai penyakit dan bencana yang kau lewati dengan kemujuran. Kehidupan itu sendiri adalah keajaiban yang tak bisa dijelaskan dan hidup di dalamnya adalah perwujudan sebuah keajaiban. Tak cukupkah bahwa sesosok tubuh yang sadar bisa merasakan sakit dan senang dalam hidup ini? A

Sore dan Rasa Bersalah

Dua orang laki-laki dewasa. Satu mengenakan kaos polos putih dan celana pendek dan di lehernya menggantung perbagai minuman pendongkrak energi, air mineral, kopi dan lain-lain lengkap dengan makanan ringan kacang dalam sebuah plastik kecil, biji jambu mete yang sudah digoreng enak dan sebagainya. Lelaki kedua, mengenakan kemeja putih berlapis jas hitam, seperti tuxedo, celana katun licin dan sepatu mengilat yang mancung di depannya. Dua lelaki sama-sama dewasa, muka mereka bengis, mungkin di balik mulutnya terselip beberapa taring, dan saya telah membuatnya muntab. Dua lelaki dewasa. Mereka marah pada saya. Dua lelaki dewasa. Mereka menuntut saya mengeluarkan isi dompet. Lelaki pertama, dia sangat sibuk dan menginginkan pergi, tapi dia juga menginginkan secangkir kopi plastiknya dikeluarkan lagi dari dalam lambung saya, jika saya tak segera membayar dagangannya. Sementara itu, lelaki kedua, saya rasa dia menginginkan dua hal dari saya: (pertama) anda di situ saja, bung. Lalu ijin

Menikmati yang Ada

Jangan bilang apa-apa Jangan menggaruk hidungmu Jangan tertarik dengan lawan bicaramu Jangan perhatian jambul anak itu yang berubah-ubah mengikuti arah angin. Seperti isi kepalanya Jangan bilang tidak enak Hentikan jika ia bicara terlalu banyak Dan apabila kau merasa sudah cukup Saat pergi. Atau duduklah di sampingku Kita bisa mengobrol banyak hal Di sekitar kita hanya ada isu Ternyata di balik punggungmu memang tak akan pernah tumbuh sepasang sayap bulu Yang mustahil membuatmu terbang Tapi kumohon jangan berteriak Tenanglah. Aku pegangi pundakmu Semua terasa berat ya? Tapi mari kita buat ini menjadi mudah Dengan mengabiskan waktu menghitung mobil-mobil Melakukan hal-hal tak berguna dan tertawa! Tapi jika kau tak suka kebisingan Kita bisa kok tinggalkan tempat ini diam-diam dalam senyap tanpa sengaja berjalan menginjak kaki orang lain. Bagaimana? Apakah kau mau duluan?

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam

Gambar
Di jalan, di sebuah gang kecil, sehelai kertas berwarna putih mangkak tertiup angin. Ia terbang merendah. Lalu seolah memilki sepasang sayap untuk hinggap, selembar kertas itu menukik lantas mendarat di bawah kaki saya. “Kau boleh saja memutuskan tidak menikah sampai akhir hanyat. Itu bukanlah ide buruk. Segala kekacauan di muka bumi ini memang terjadi karena perkara sepele. Salah-salah mengingat batas teritorial kita misalnya. Atau, jika kau ingin alasan yang lebih sepele—kalau kau cukup bernyali—datang dan pergi ke Istana Negara tepat di hari Senin. Lalu panjat tiang bendera yang ada di sana dan membaliknya dengan warna bendera Polandia. Mereka mungkin akan menghargai usahamu sebagai orang gila dan sebagai gantinya kau akan dipukuli hingga hampir mati. Dan saat itulah kau akan paham apa yang sedang kita bicarakan. "Orang-orang yang memukulimu, lahir dari keluarga harmonis, tidak harmonis, dan agak harmonis untuk ukuranmu. Akan tetapi mereka tidak paham apa yang sedang

Suaramu

Apa itu kau? Suaramu yang memanggil-manggil aku supaya menoleh dan berdelusi Sekali lagi. Suaramu berhembus dari dasar telingaku, yang mudah bengkok dan tuli kerasukan percik air mandi. Itu kah kau? denging pesawat yang melintas terbang bersama burung-burung di atas ribuan kaki di antara lututku yang gemetar dan kerap kau curigai sebagai penumpang ilegal dijatuhkan ke bumi, demi mencicip lumpur dan mengulang-ngulang kata ganti gagal menghapal nama jalan-jalan, yang tak pernah lolos dari mata rautan Itu pasti suaramu yang samar-samar melambai-lambai hendak mengatakan, Hati-hati di jalan ya, tapi sebelah tanganmu adalah tongkat Musa yang mampu memisahkan laut merah. Di seberang jalan, suaramu terdengar terluka. Aku apalagi. Sekejap semuanya menjadi kramat tapi kau terus memanggil-manggil supaya aku terus terserap dan menggigil di balik jaketku, kau biarkan aku terseok-seok menyebrang jalan itu. [AW]

Menanti Kau yang Setengah Aku

setiap kali aku merasa aku manusia setengah laki-laki dan setengah ibuku adalah perempuan pertama yang kujumpai adalah tubuhmu, di pasar malam itu, kukira inilah hari terakhir ketika aku bisa memandangmu. lebih lama, perlahan-lahan kusipitkan kuintip kau kupejamkan mataku; sebuah desa tumbuh menyerupai kota kecil, lengkap dengan liuk dan orang-orangnya yang kerdil dan saling membelah terlalu banyak hingga menambahkan kemacetan di antara sungai-sungai, rumah salin, swalayan yang menyediakan highheel agar mereka bisa berpura-pura lebih tinggi, lebih bahagia karena bisa menjadi diri mereka. keheningan kehilangan kegiatan kata-katanya mencari teman menyanyi, tertiup angin suaranya ke arah yang tak pernah mampu kita cintai dengan sepadan sebagai celoteh atau candaan kekasih. lalu kau yang ceria dan setengah bersemangat membetulkan kedurungmu, memilih kata berangkat, sekarang! sementara aku mengutus diriku untuk mengusir rasa ingin tahuku yang gelisah di balik pintu kau menemukan kun

Eskapis di Rumah Sakit

Yang Diinginkan Sembuh Kapada yang Sakit di rumah sakit. menunggui yang sakit. jubah suster cantik tak pernah bisa menggantikan pikiran-pikiranmu dengan remeh-temeh muasal kita dilahirkan hanya untuk tahu ketidaktahuan bagaimana sebaiknya kesedihan itu dibunyikan. Seperti derap langkah sepatu suster itu? Tak ada orang yang ingin membikin sajak dari suara gesekan antara rentetan mata runcing jarum suntik dan senyum di balik kain masker yang dikulum. di samping ranjang orang-orang bersandar pada harapan kelewat matang seperti bubur, yang menunggu diamalkan waktu kepada tisu waktu itu: kamu memilh menangis sebelum akhirnya kembali lagi sibuk mengisi teka-teki dengan barangkali-barangkali... dua anak kecil. berlarian tertawa, bertahan dari kepungan-kepungan sunyi sebelum langit mampu dinamai: hari esok yang biru seperti sendok pispot riuh jantungmu.. menunggui yang sakit meringkuk di kolong ranjang terantuk-antuk membaca buku harian hidupmu, ya

Ia Ingin Naik Kelas

Ia ingin naik kelas. Tapi buku yang ia baca tak dapat ia jangkau hanya bisa ia eja: "a... b... a... d... d... a... r... a... h... l... u... k... a... Ah, susah ya!" Ia terpekur, mendongakkan kepala ke kusen jendela: serbuk kayu, rayap, bekas tempias dan warna biru yang dihisap cuaca. Ia pun kembali mengeja keras-keras "Es... A... Ye... A... Es... I... A... Pe... A... Aduh, bingung--" Ia mengurut kening huruf-huruf berdengung di dalam sana seolah-olah bunyi terlempar di dinding goa "Aku ingin naik kelas," ucapnya. Seperti doa. [es ha]

Menghentikan Pagi

Gambar
Ilustrasi : tentang laki-laki yang mencintai K Ia menghentikan pagi. Menghentikan pagi seperti menggunting rubrik puisi pada koran akhir pekan. Ke kotak suratmu ia kirimkan. Ia kirim sejuta potret hijau dan jernih cuaca 'Jadilah engkau bahagia,' ia berkata, sambil diam-diam ia tanggungkan isyarat itu lagi: tetes sisa hujan malam, di teritisan ketika terlambat matahari. [Es Ha]

Tuhan Membuat Sore

Gambar
Ilustrasi Sekumpulan orang letih berkemas dan bergegas untuk  pulang. 16.10 suara yang menikung  cukup riuh, iring-iringan delapan sepeda motor mengagetkan, meluncur pelan lalu berpencar Di sana, ada beberapa orang masih  berusaha keras merampungkan angan-angan memandangi batu-batu batu yang tadinya kering (bercakap-cakap tentang batu) sekarang memerah (kemudian mereka pergi)  Lalu tempat itu menjadi sepi, bukan kosong. riuh pun kita tidak akan (pernah) diizinkan menikmati percakapan kayu-kayu tembok-tembok semen, pasir, bata dan takdir. Topi yang tertinggal (atau sengaja ditinggal?) oleh pemiliknya pemilik yang sejak tadi tidak berhasil  menyalakan korek api pada akhirnya  mereka pulang:  orang-orang yang berusaha keras untuk tabah. [EB] 2017 

Sepotong Lanskap pada Sketsa

Gambar
kisah buat K Di studio: musim menahan waktu ketika malam menautkan dingin ke dinding Di pigura: kaki bangau tercelup danau tapi sketsa tanpa warna itu tak mengerti mengapa perempuan itu menatapnya dan terpukau Lihat, katanya, lihat telapak langit dan skema rasi, aku jadi ingin merontokkan bintang dan menaruhnya pada topi! Siapa yang mengarsir daun- daun trembesi itu, sayangku? Tidak tahu. Mungkin, seseorang ingin menitipkan tangis? Atau laki-laki majenun yang rapuh tapi tetap berjalan Mengapa kita jatuh cinta dengan pelan tapi cemas seperti garis-garis gerimis yang murung di bawah lampu di ujung jalan dan bangku yang dipeluk kabut Karena kabut membikin kita hangat dalam tandatanya. Tapi tak ada kabut pada sketsa, sayangku, katanya. Ia pun tertawa. Dan ia, dalam kisah kecil ini, hanya menatap sketsa di dinding studio tua, terpejam berdiri Ia bayangkan ia terbawa angin santai. [es ha] Ilustrasi

Pulang Katamu?

Gambar
ilustrasi:cdn.idntimes.com Saya sebenarnya ingin kabur Karena saya merasa harus kabur Tujuan saya adalah tidak boleh menengok Tapi tidak bisa.Saya merasa punya mata  di belakang kepala saya, sehingga  pun jika saya pergi, saya hanya akan menambah kebingungan diri saya sendiri Saya mempercayai mata depan saya di lain itu, saya juga mempercayai mata belakang kepala lainnya Mata depan akan menuntun saya ke depan sementara mata belakang  memandu saya berjalan ke arah sebaliknya saling menarik-saling membisikkan Membikin saya bingung, hingga  menahan langkah kaki saya berayun tak bisa kabur Saya berdiri di trotoar. Kadang-kadang saya ingin melihat apa yang terjadi  di depan sana, namun mata belakang itu tak mau kalah membikin saya penasaran ditambah kata-katamu sempat  kau ucapkan pada saya tempo dulu: "Jika kau lelah, dan  kepalamu bagai keledai yang  tak henti-hentinya menarik  gerobak barang, anak nakal, pulanglah!&

Jatuh Cinta

Gambar
Kau sedang jatuh cinta. Kau tersenyum setiap waktu. Kau bahkan tersenyum setiap itu bukan moment lucu. Ibumu, yang sedang mengupas kulit kentang di dapur curiga anaknya mulai sinting, bertanya, “Ada apa?” Tidak ada apa-apa batinmu. Lalu kau kembali tersenyum.  Sebenarnya ibumu tahu. Karena toh, beliau pernah muda sebelum beliau tak  punya kesempatan menolak tua. Di dadamu sedang ada banyak kupu-kupu warna-warni. Yang berterbangan mengitar-ngitar di sana indah sekali. Binatang bersayap pelangi yang merentang ringan di sela-sela udara paru-paru itu. Binatang kecil yang sudah lama sekali ingin kau temui di alam mimpimu yang kabur dan suram. “Setelah hari-hari buruk, mimpi-mimpi buruk, dikejar-kejar anak biawak, keponakan biawak dan paman biawak,” batinmu lagi. “Akhirnya....” Kau kembali tersenyum lega sambil menatap udara kosong di hadapanmu. Ibumu, yang sedang memasak di dapur, dengan ekor matanya menoleh. Ke arahmu. Kau tahu itu. Tapi kau memilih tidak peduli. Maka

Kejutan

Gambar
Baru kemarin aku berkata pada diriku , aku masih Tantri yang dulu. Wanita Indonesia yang dilahirkan dari beberapa perpaduan warna. Kombinasi Arab-China-Bali dan Jawa. Berhidung mirip kakek dari Mama, bermata lebar mirip nenek dari Papa, dan mewarisi kulit pucat Mama. Namun saat bercermin, aku menyadari kini telah berubah. Di titik terendah dalam hidupku ini, ada beberapa hal telah membaik. Aku tidak lagi mendapati sahabatku menangis sesenggukan dalam pelukanku karena pengabdiannya tengah diuji. Tak banyak wanita sabar jika diabaikan. Tapi Andini tetap melakukannya. Dia berjuang menjadi menantu sekaligus istri setia. Jiwanya jauh lebih tangguh dari pada aku, kupikir itulah positifnya sahabatku Dini. Dini juga menciptakan keajaiban-keajaiban kecil di cafeku. Kami mengecatnya bersama-sama. Lalu menanam bibit-bibit lavender, sun flower dan mawar di halaman. Kadang sesekali di akhir pekan dia datang. Kami mencoba resep-resep baru, sebelum meletakkannya di daftar menu. Percayalah,

Pulang

Gambar
Minggu terakhir April. Aku menyimak Raihan memainkan tuts tuts piano di ruang keluarga kami yang hangat. A Thousand Years mengalun lembut. Sejujurnya, momen ini membuatku terharu. Beberapa hari setelah ini, mungkin aku akan sangat merindukannya. Kalimat-kalimat tanya menggantung dalam benak ini. Sulit sekali terucap dari mulutku. Misalnya, benarkan kamu akan meninggalkanku? Kumohon jangan. Tapi begitu dia memutuskan, rasanya sulit untuk merubahnya. "Din! Jaga Mama, ya?" Aku hanya menggangguk. Kusandarkan kepalaku di pundaknya tanpa bicara apa-apa. *** Aku tinggal serumah dengan beliau yang tidak begitu menyukaiku. Entah seberapa besar aku berusaha. Suatu hari saat pembantu pulang karena anaknya melahirkan, dia tidak menyentuh masakanku. Seingatku aku sudah mematuhi pesan-pesan Raihan. Masakan tanpa gula, rendah kolesterol. Dan dalam beberapa waktu aku terus membujuknya. "Mah, waktunya makan." "Bosan dengan itu itu, Din," keluhnya. &q

Batas Pagi

Gambar
Hari apa sekarang, Lis? Berhari-hari aku mengingatmu tak satu pun aku ingat apa salahku, atau salahmu seandainya kita tidak bertemu. Perasaan wajar begini siapa sangka justru membikin kita berpisah. Dari balik kepalaku, belakang pundakku, hari-hari berlalu menambahkan cahaya lalu kenyataan bagai sejarah yang dipimpin Josef Stalin mematikan orang-orang yang tak disukainya. Sakit yang tak pernah bisa sekedar ditanggung atau ditampung secangkir kopi. Lis, Adakah kita perlu beranjak? Memakai mantel bulu lama kita, yang setengah abad tergantung di belakang pintu kamar untuk pergi ke taman, rumah binatu yang tak pernah bisa benar-benar membersihkan pikiran-pikiran kita? Dari jarak seratus meter, tak pernah cukup dekat. Tidak juga jauh orang-orang memerhatikan kita. Dengan satu pertanyaan lelah dan ragu yang diajukannya, "Ya. Mengapa kita di sini?" "Apa Anda sendirian saja? Seharusnya Anda tidak sendirian saja keliaran di taman ini!" "Bisakah An

Perkara Kamu dan Pelukan Itu

Gambar
sejak dulu aku sudah curiga kau laut yang tak bisa tumpah dasar gelombang yang tak ingin membuatku tenggelam magenta mahir memulihkan warna mata ikan-ikan  camar yang tak lagi suka menyamar kesedihan gadis kecil sejak mula lahir, akulah paling pintar menyaru kugubah pasir-pasir, cangkang sepatu, atau apa saja yang bisa menyerupaimu seorang yang alasan satu-satunya aku berguru pada kepiting sepertimu dari hidup yang sebentar namun terus-terusan membuatku miring dan memar dunia paling ganas, kekasih, oh menyimpan luka perih sia-sia di tubuh anak petani sepertiku yang tak pernah bisa mengajari batang kelapa, anak-anak angin menyanyi atau bersiul di tepi pantai ketika tak ada yang sama caramu menyeka dan merangkul paling hangat. Ilustrasi  [AW]

Bertemu Fans Suami

Gambar
Dulu sebelum nikah, gue pernah bayangin. Kalau pasangan yang sama-sama penulis itu, saat ngalami masa rukun, saling surat-suratan romantis. Begitu berantem sindir-sindiran di sosmed. Tapi kenyataannya enggak. Gue dan Abang Kanda cenderung diam-diaman. Hal yang sejujurnya nyiksa gue dalam rindu tak berujung. Ya Allah. Meskipun gitu, gue diam-diam ngintip dari jauh. Meet and greet Abang di Toko buku Dream Media. Yep, sebenarnya, dia memang punya banyak fans. Kata mereka, Cheng Ho adalah penulis cerdas berwawasan gokil yang pernah ada di Indonesia. Tapi anehnya, gue yang isterinya, malah kalem sambil sering bertanya-tanya. Dia sebenarnya nulis apa coba? Kalau ditanya awal suka padanya. Justru gue suka keahliannya di bidang arsitektur. Dulu, nggak pake acara romantis ngasih puisi sepanjang satu meter, gue terpesona lihat desain Masjid yang dibuatnya untuk kampus kami. "Permisi. Boleh duduk di sini, Kak?" Ada remaja cewek yang memegang ice cream di tangannya. Mulutnya

Orang yang Terakhir Duduk dan Tersenyum [2]

Cerita Sebelumnya... Kisah cintaku berakhir satu tahun lalu. Meski sudah berlalu 12 bulan atau 365 hari, atau 8760 jam atau 525.600 menit atau hasil fantastisnya 3.1536.000 detik lalu, aku masih saja mengingatnya dengan detail. Seperti bayi, yang lupa alasan ia menangis untuk apa, aku melakukannya begitu saja. Dan kadang aku juga berpikir, untuk apa aku mengingatnya. Aku hanya memang memikirkannya, mantan pacarku itu. Dia memiliki napas yang lembut, suara yang khas seperti siualan kerang, dan tatapan matanya, oh, yang teduh meski dia sedang marah dan kesal pada orang lain. Matanya seperti mata balita yang memohon padamu jika dia memiliki kesalahan tolong dimaafkan. Dia jarang tertawa, dia lebih suka mengulum bibirnya. Sesekali dia membasahi bibirnya itu hanya untuk memberi ruang kepada orang lain untuk bicara. Jika aku berusaha keras membuat adegan lucu, sok lucu, atau bertingkah konyol untuk membuatnya tertarik, dia justru mengapresiasi usahaku dengan mengelengkan kepala, lal