Postingan

Bayangan Kematian

: Gao Xingjian Kau tak lagi hidup dalam bayang-bayang orang lain dan tak lagi menganggapnya sebagai musuh khayalan. Kau meninggalkan bayangan itu, berhenti berkhayal dan melamunkan hal-hal aneh, dan kini terpuruk dalam kehampaan yang damai. Kau datang ke dunia dengan telanjang, tiada yang membutuhkanmu dan andaikan kau menginginkan sesuatu, kau tak akan mampu melakukannya. Satu-satunya rasa takutmu hanyalah pada maut yang datang tiba-tiba. Kau ingat rasa takutmu pada maut berawal di masa kecil. Saat itu rasa takut itu lebih besar dari kini. Kesedihan sepele membuatmu begitu cemas, seolah-olah itu adalah penyakit tak terobati dan saat kau jatuh sakit kau akan mengigau ketakutan. Kau telah bertahan melalui berbagai penyakit dan bencana yang kau lewati dengan kemujuran. Kehidupan itu sendiri adalah keajaiban yang tak bisa dijelaskan dan hidup di dalamnya adalah perwujudan sebuah keajaiban. Tak cukupkah bahwa sesosok tubuh yang sadar bisa merasakan sakit dan senang dalam hidup ini? A

Sore dan Rasa Bersalah

Dua orang laki-laki dewasa. Satu mengenakan kaos polos putih dan celana pendek dan di lehernya menggantung perbagai minuman pendongkrak energi, air mineral, kopi dan lain-lain lengkap dengan makanan ringan kacang dalam sebuah plastik kecil, biji jambu mete yang sudah digoreng enak dan sebagainya. Lelaki kedua, mengenakan kemeja putih berlapis jas hitam, seperti tuxedo, celana katun licin dan sepatu mengilat yang mancung di depannya. Dua lelaki sama-sama dewasa, muka mereka bengis, mungkin di balik mulutnya terselip beberapa taring, dan saya telah membuatnya muntab. Dua lelaki dewasa. Mereka marah pada saya. Dua lelaki dewasa. Mereka menuntut saya mengeluarkan isi dompet. Lelaki pertama, dia sangat sibuk dan menginginkan pergi, tapi dia juga menginginkan secangkir kopi plastiknya dikeluarkan lagi dari dalam lambung saya, jika saya tak segera membayar dagangannya. Sementara itu, lelaki kedua, saya rasa dia menginginkan dua hal dari saya: (pertama) anda di situ saja, bung. Lalu ijin

Menikmati yang Ada

Jangan bilang apa-apa Jangan menggaruk hidungmu Jangan tertarik dengan lawan bicaramu Jangan perhatian jambul anak itu yang berubah-ubah mengikuti arah angin. Seperti isi kepalanya Jangan bilang tidak enak Hentikan jika ia bicara terlalu banyak Dan apabila kau merasa sudah cukup Saat pergi. Atau duduklah di sampingku Kita bisa mengobrol banyak hal Di sekitar kita hanya ada isu Ternyata di balik punggungmu memang tak akan pernah tumbuh sepasang sayap bulu Yang mustahil membuatmu terbang Tapi kumohon jangan berteriak Tenanglah. Aku pegangi pundakmu Semua terasa berat ya? Tapi mari kita buat ini menjadi mudah Dengan mengabiskan waktu menghitung mobil-mobil Melakukan hal-hal tak berguna dan tertawa! Tapi jika kau tak suka kebisingan Kita bisa kok tinggalkan tempat ini diam-diam dalam senyap tanpa sengaja berjalan menginjak kaki orang lain. Bagaimana? Apakah kau mau duluan?

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam

Gambar
Di jalan, di sebuah gang kecil, sehelai kertas berwarna putih mangkak tertiup angin. Ia terbang merendah. Lalu seolah memilki sepasang sayap untuk hinggap, selembar kertas itu menukik lantas mendarat di bawah kaki saya. “Kau boleh saja memutuskan tidak menikah sampai akhir hanyat. Itu bukanlah ide buruk. Segala kekacauan di muka bumi ini memang terjadi karena perkara sepele. Salah-salah mengingat batas teritorial kita misalnya. Atau, jika kau ingin alasan yang lebih sepele—kalau kau cukup bernyali—datang dan pergi ke Istana Negara tepat di hari Senin. Lalu panjat tiang bendera yang ada di sana dan membaliknya dengan warna bendera Polandia. Mereka mungkin akan menghargai usahamu sebagai orang gila dan sebagai gantinya kau akan dipukuli hingga hampir mati. Dan saat itulah kau akan paham apa yang sedang kita bicarakan. "Orang-orang yang memukulimu, lahir dari keluarga harmonis, tidak harmonis, dan agak harmonis untuk ukuranmu. Akan tetapi mereka tidak paham apa yang sedang

Suaramu

Apa itu kau? Suaramu yang memanggil-manggil aku supaya menoleh dan berdelusi Sekali lagi. Suaramu berhembus dari dasar telingaku, yang mudah bengkok dan tuli kerasukan percik air mandi. Itu kah kau? denging pesawat yang melintas terbang bersama burung-burung di atas ribuan kaki di antara lututku yang gemetar dan kerap kau curigai sebagai penumpang ilegal dijatuhkan ke bumi, demi mencicip lumpur dan mengulang-ngulang kata ganti gagal menghapal nama jalan-jalan, yang tak pernah lolos dari mata rautan Itu pasti suaramu yang samar-samar melambai-lambai hendak mengatakan, Hati-hati di jalan ya, tapi sebelah tanganmu adalah tongkat Musa yang mampu memisahkan laut merah. Di seberang jalan, suaramu terdengar terluka. Aku apalagi. Sekejap semuanya menjadi kramat tapi kau terus memanggil-manggil supaya aku terus terserap dan menggigil di balik jaketku, kau biarkan aku terseok-seok menyebrang jalan itu. [AW]

Menanti Kau yang Setengah Aku

setiap kali aku merasa aku manusia setengah laki-laki dan setengah ibuku adalah perempuan pertama yang kujumpai adalah tubuhmu, di pasar malam itu, kukira inilah hari terakhir ketika aku bisa memandangmu. lebih lama, perlahan-lahan kusipitkan kuintip kau kupejamkan mataku; sebuah desa tumbuh menyerupai kota kecil, lengkap dengan liuk dan orang-orangnya yang kerdil dan saling membelah terlalu banyak hingga menambahkan kemacetan di antara sungai-sungai, rumah salin, swalayan yang menyediakan highheel agar mereka bisa berpura-pura lebih tinggi, lebih bahagia karena bisa menjadi diri mereka. keheningan kehilangan kegiatan kata-katanya mencari teman menyanyi, tertiup angin suaranya ke arah yang tak pernah mampu kita cintai dengan sepadan sebagai celoteh atau candaan kekasih. lalu kau yang ceria dan setengah bersemangat membetulkan kedurungmu, memilih kata berangkat, sekarang! sementara aku mengutus diriku untuk mengusir rasa ingin tahuku yang gelisah di balik pintu kau menemukan kun

Eskapis di Rumah Sakit

Yang Diinginkan Sembuh Kapada yang Sakit di rumah sakit. menunggui yang sakit. jubah suster cantik tak pernah bisa menggantikan pikiran-pikiranmu dengan remeh-temeh muasal kita dilahirkan hanya untuk tahu ketidaktahuan bagaimana sebaiknya kesedihan itu dibunyikan. Seperti derap langkah sepatu suster itu? Tak ada orang yang ingin membikin sajak dari suara gesekan antara rentetan mata runcing jarum suntik dan senyum di balik kain masker yang dikulum. di samping ranjang orang-orang bersandar pada harapan kelewat matang seperti bubur, yang menunggu diamalkan waktu kepada tisu waktu itu: kamu memilh menangis sebelum akhirnya kembali lagi sibuk mengisi teka-teki dengan barangkali-barangkali... dua anak kecil. berlarian tertawa, bertahan dari kepungan-kepungan sunyi sebelum langit mampu dinamai: hari esok yang biru seperti sendok pispot riuh jantungmu.. menunggui yang sakit meringkuk di kolong ranjang terantuk-antuk membaca buku harian hidupmu, ya